Ramadan sudah berada di penghujung batas. Besok tanggal 1 Syawal 1441 H umat muslim akan merayakan idul fitri sebagai bentuk kemenangan setelah sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadan. Namun, layakkah kita merayakan kemenangan itu?
Untuk menjawabnya tentunya yang lebih tahu adalah pribadi kita masing-masing. Yang betul-betul tahu kualitas puasa dan keadaan hati dan jiwa seseorang adalah masing-masing individu, orang lain tidak bisa menilainya. Tanyakannlah pada diri kita masing-masing.
Idul fitri yang berarti kembali suci diharapkan mereka yang merayakan hari raya besar ini jiwanya dalam keadaan suci sehingga layak untuk dikatakan sebagai pemeneng. Menang melawan hawa nafsu dan tipu daya setan baik yang berupa jin maupun manusia, sehingga dosa-dosa yang kita perbuat sebelumnya bisa terlebur.
Untuk menggapai kesucian jiwa tersebut tentunya kita harus terbebas dari dosa yang selama ini kita perbuat baik disengaja atau tidak, baik dosa kepada Allah maupun dosa sosial kepada sesame makhluk. Penyucian jiwa dari dua dosa tersebut oleh Allah difasilitasi dengan puasa (Ramadan) dan hari raya.
Ramadan menjadi momen memperbaiki diri dan mensucikan jiwa yang puncaknya diharapkan bisa mendapatkan predikat takwa (QS. 2: 183).
Kesalahan dan khilaf yang berhubungan dengan Tuhan bisa dirajut kembali di bulan ini dengan melaksanakan puasa secara imanan (keyakinan yang ikhlas) dan ihtisaban (berharap mendapat pahala dari Allah) (HR. Bukhari Muslim).
Di bulan Ramadan banyak disediakan media-media berbenah diri dan meningkatkan iman kepada Allah, semisal tadarus, I’tikaf, dzikir, nuzulul qur’an dan sejensinya yang pahalanya dilipat gandakan. Dan yang paling istimewa, ada lailatul qadr yang keutamaannya melebihi seribu bulan (QS. 97: 3).
Selanjutnya, idul Fitri menjadi momen merajut benang kusut antar sesama. Dosa sosial antar sesama bisa dibenahi dengan bermaaf-maafan dan silaturrahmi. Jika dengan puasa Ramadan seorang muslim diharapkan medapatkan predikat takwa, maka selanjutnya di idul fitri mereka yang bertakwa diharapkan bisa meminta dan memberi maaf kepada sesama. Akan hal ini, Al-Qur’an mengajarkan bahwa seorang muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan mengambil paling tidak satu dari tiga sikap dari seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya (QS. 3: 134).
Maaf-memaafkan artinya saling menghapus bekas-bekas luka di dalam hati setiap muslim, sehingga tidaklah dikatakan saling bermaaf-maafan jika masih ada sisa luka dan dendam yang membara. Seseorang akan bisa dikatakan memaafkan jika ia sudah bisa menghilangkan segala noda yang membekas dalam hatinya. Jika tidak, maka hal itu hanya sebatas menahan amarah, yang meruapakan tingkatan paling rendah yang disinggung QS. 3: 134.
Bagi mereka yang punya salah dan dosa sesama bukan berarti seenaknya cukup meminta dan mengucapkan maaf dan dosanya dianggap lebur. Lebih dari itu, seseorang yang meminta maaf dituntut terlebih dahulu untuk menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, dan meminta maaf kepada yang dimohonkan maafnya. Jika dosanya disebabkan hak adami (materi), maka memohon maaf sambil mengembalikan materi yang pernah diambilnya dan jika tidak berupa materi maka kesalahan yang dilakukan harus dijelaskan.
Jika seorang muslim bisa demikian, bisa dipastikan ia sangat layak untuk merayakan kemengan dan kembali fitri. Segala dosa menjadi lebur dan jiwanya menjadi bersih dan suci, di mana kesucian itu adalah gabungan dari tiga unsur utama yaitu benar, baik, dan indah. Orang yang beridul fitri akan selalu berbuat keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Lewat kesucian jiwanya tersebut ia akan memandang segala sesuatu dengan pandangan yang positif. Selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar menghasilkan ilmu. Dengan pandangan demikian ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan, dan keburukan orang lain. Kalaupun itu tidak terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif. Dan kalaupun itu tidak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.
Selanjutnya, kaitannya dengan silaturahmi dan bermaaf-maafan di atas, bagaimana cara melakukannya di masa pandemi seperti tahun ini? Hal itu tidak menjadi halangan karena zaman sekarang sudah serba canggih dengan adanya teknologi modern. Semuanya bisa online, karena kalau tidak ada rotan maka akarpun jadi.
Oleh : Abd. Basid (Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid – Alumnus Pp. Mambaul Ulum, Bata-Bata, Madura)