Suatu peradaban yang terlalu banyak mengalami syok, hipertensi, trauma, kecamuk dendam dan perang, serta penyumbatan-penyumbatan koroner akibat ketimpangan, akumulasi kekayaan, ketidakadilan, dan penghisapan, seperti peradaban Modern dan sesudahnya sekarang, pada gilirannya mau tak mau akan mengalami inersia, pelambatan gerak, sebelum lumpuh dan barangkali “mati” dalam caranya sendiri. Jika tak mati sungguhan, mati suri. Tiba pada suatu “state of inactivity” yang tidak terelakkan.
Kota-kota sepi, transportasi lumpuh, hotel-hotel kosong, keramaian menyusut, perdagangan amblas. Antiklimaks sosialitas. Saat itu manusia kembali ke singularitasnya, ke kesendiriannya, ke ruang intimnya yang terlupakan oleh ritme modernitas dan janji-janji kemajuan.
Mekkah kembali ke citra arkaik. Sunyi bak ribuan tahun lalu ketika kesunyian serupa menyergap tiga manusia agung (Ibrahim, Ismail, Hajar ‘alaihimussalam) di padang tandus yang kering dan tak berpenghuni. Kelak pun, seperti nubuat Nabi dalam sebuah hadits, kota Madinah mengalami hal yang sama. Ditinggal penghuninya, kecuali beberapa gelintir kaum mukmin.
Musibah bagi manusia, rahmat bagi alam. Bersamaan itu, paradoksnya, alam makin bersih, polusi menyusut drastis: manusia seperti dipaksa untuk melihat lagi kehidupan tidak melulu dari sudut pandang kepentingan biologisnya, tapi juga kehidupan yang lebih luas: alam yang tak lagi kuat menanggung keserakahan. Distopia bagi manusia, utopia bagi non-manusia.
Manusia yang tak insyaf akan wabah ini barangkali akan kembali diingatkan dengan mala yang lebih dahsyat dan lebih tak terduga. Mereka yang insyaf akan menemukan keseimbangan dalam pemulihan relasi mereka dengan alam, dan dengan Sang Khalik, sang Pemilik alam.
Sejak 1960-an, para filsuf sudah memperingatkan, modernitas kita punya batas, limit. Tak bisa manusia semau-mau gue bertindak di atas bumi. Tak bisa ritme peradaban dibiarkan bergerak semata-mata atas gerak sirkulasi kapital yang membabi buta. Ada imperatif moral atas Yang Lain, The Other. Saya cuma tak menyangka: Yang Lain itu berupa sesuatu yang kecil tapi banyak. Sebuah virus yang kita sebut, mungkin bukan tanpa ironi dan rasa takzim, sebagai “corona”: sang mahkota.* Suatu pesan kosmik bagi rezim apapun: kekuatan itu ada pada yang kecil-kecil dan banyak. Pada rakyat yang dihina dan diremehkan. Multitude, kata Antonio Negri. People, kata filsuf yang satu. “Kejamakan (multiplisitas) radikal”, kata filsuf yang lain.
Pesan yang sebenarnya telah dikirimkan Sang Khalik sepanjang ribuan tahun tentang bangsa-bangsa pendurhaka yang dimusnahkan oleh serbuan belalang, kutu, dan sejenisnya, atau tentara Abrahah oleh burung-burung kecil Ababil.
Sumber tulisan : Di ambil dari postingan status gus Fayyadl dalam akun facebooknya. https://www.facebook.com/fayyadl?redirect=false
Penulis : Muhammad al-Fayyadl (Intelektua Muda NU)
Editor : Alfin Haidar Ali