Belakangan beredar status dari transkip video dialog Gus Baha’ dengan beberapa tamu di kediamannya. Dalam pesan tersebut, disebutkan bahwa beliau mengkrtitik beberapa hal. Salah satunya, adalah pentingnya kembali kepada tradisi Nahdlatul Ulama, yakni mengaji kitab khas pesantren. NU, dalam pesan itu, sudah terlampau jauh meninggalkan tradisi ini dan lebih asyik dengan pengajian umum yang sangat ribet dan terkesan seremonial.
Kemajuan berbagai teknologi maupun disiplin keilmuan, termasuk dalam hal ini keagamaan yang tak luput dari warisan generasi sebelumnya. “Generasi kalian tidak akan berhasil bila tidak mempelajari tapak-jejak perjuangan generasi sebelumnya.” begitu kiranya bunyi maqolah Imam Malik.
Diantara mempertahankan tradisi generasi ulama’ dan para kyai kita dahulu adalah tradisi ngaji ala NU. Pentingnya kembali mentradisikan ngaji ala NU, baik dengan sistem bandongan maupun sorogan perlu disemarakkan lagi. Karena diakui atau tidak, diskursus kajian Islam di Indonesia semakin hari semakin menampilkan wajahnya yang sangat terbelakang. Perdebatan tentang ritus peribadatan yang sebenarnya “sudah tutup buku” saban tahun terus diputar ulang. Wacana keilmuan apik yang ada dalam teks dan kitab-kitab saja, belum sepenuhnya mendarah daging dalam sendi-sendi kehidupan manusia.
Perkembangan yang sangat pesat tidak bisa dihindari lagi dampak dan efeknya. Pengajian umum yang menjadi tren, yang mana tidak ada standart atau kualifikasi keilmuan seorang untuk menjadi “penceramah”, ditambah kurang kritisnya masyarakat awam dalam memilih guru di dunia maya, melengkapi semakin jauhnya NU dari mengaji ala kyai kita dahulu.
Setidaknya demikianlah pendapat Gus Baha’. Dan kritikanya merupakan inspirasi bagus bagi generasi muda yang belajar dipesantren, untuk mengembalikan lagi tren ngaji ala kyai kita dahulu. Agar tidak semua orang tidak hanya punya “keberanian” untuk naik ke podium, tapi juga benar-benar menguasai khazanah keilmuan islam itu sendiri.
Detik-detik ini, Setelah sukses melaksanakan festival turats perdana pada tahun lalu, kini mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasantri (BEMs) mengadakan festival turats ke-II se-Indonesia. Kegiatan yang di kemas dengan lomba baca kitab fathul mu’in, lomba fathul qorib dan olimpiade nahwu shorof (ONS) lalu ditutup dengan bedah kitab roudhotul muttaqin ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Ada yang menarik kali ini, tema yang diangkat adalah Membumikan Khazanah Keilmuan Islam. Kembali pada kritik Gus Baha’ tadi, bagi saya, tema ini adalah langkah awal untuk kemudian melahirkan raksasa-raksasa intelektual yang benar-benar memahami Islam secara komprehensif. Mencetak kader-kader yang tak hanya alim-muballigh, tapi alim-allamah. Bukan hanya yang sekadar berani naik panggung, dan menyalahkan orang yang berbeda.
Berbagai delegasi santri yang terdaftar akan menunjukkan kemampuannya menjelaskan isi kitab kuning warisan para ulama’ salaf didepan santri-santri dari penjuru negeri, lebih-lebih mereka akan di video dan di upload di youtube. Entah berapa orang lagi yang akan menonton siaran langsung dan menyetel ulang tayangannya. Baik itu lomba baca kitab fathul mu’in dan fathul qorib.
Di sisi lain, seratus soal gramatikal bahasa arab terkait nahwu shorof beserta cabang-cabangnya akan mereka ‘lumat’ habis dalam jangka waktu satu jam tiga puluh menit di kelas Olimpiade Nahwu Shorof nanti.
Adu intelektual ini akan dilaksanakan sejak hari kamis, 27 februari 2020. Bila peserta masih membludak, akan diselesaian pada keesokan harinya dengan target selesai sebelum sholat jum’at dilaksanakan. Karena sesi terakhir akan dilaksanakan setelah sholat jum’at yakni bedah kitab roudhotul muttaqin. Salah satu kitab dari 70an karya Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid, yakni KH. Moh. Romzi Al-Amiri Mannan, S.H.,M.H.I.
Diusianya yang mencapai sekitar 51-an, beliau sudah berkarya sebanyak itu. Kitab-kitab beliau diajarkan di berbagai Lembaga di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Bahkan, disetiap Ramadhan, pada pengajian umum di sore hari menjelang buka puasa, karya demi karyanya beliau ajarkan pada seluruh santri Nurul Jadid. Bahkan, beberapa pengurus pondok pesantren Sidogiri juga pernah sowan untuk mengoleksi karya beliau di Perpustakaan Sidogiri.
Pembanding pada acara kali ini adalah Kh. Zainul Mu’in Husni, Lc. Salah seorang mursyid Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Sosok yang akrab disapa dengan dengan Kyai Zainul Mu’in tersebut merupakan orang yang sangat disegani di Nurul Jadid. Selain aktif sebagai dosen Universitas Nurul Jadid, beliau juga merupakan salah seorang santri yang pernah nututi ke Kyai Zaini Mun’im, Pengasuh sekaligus pendiri pondok pesantren Nurul Jadid.
Setelah para santri ‘unjuk gigi’ dengan kemampuan masing-masing, pada sesi ini kita akan disuguhkan bedah kitab yang ciamik antara dua guru besar dari Ma’had Aly Nurul Jadid dan Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Bagaimana tidak, beberapa minggu sebelumnya, panitia menerima makalah bandingan dari Kyai Zainul Mu’in terkait bedah kitab nanti. Alasannya, karena bila koreksi karyanya hanya disampaikan ketika acara dikhawatirkan tidak akan diterangkan semuanya. Dalam makalah bandingannya, Kyai Zainul sangat terbuka dan blak-blakan terkait kemusykilannya terhadap karya kyai romzi tersebut. Setidaknya, dalam makalah tersebut beliau menyebutkan dua sub bab.
Pertama, kemusykilan yang perlu dijawab atau dijelaskan. Terdapat 8 poin yang diuraikan beliau. Kedua, koreksi atas beberapa tulisan. Terdapat 35 catatan koreksi yang akan beliau terangkan nanti ketika acara. Terakhir, beliau memberikan sekelumit catatan mengenai kandungan kitab ini, yaitu bahwa kitab ini luar biasa dan sangat menarik. Yang paling menarik menurut beliau adalah cakupan bahasannya hingga nyaris tidak menyisakan satu butirpun tata kesopanan di majelis ilmu yang tidak dibahas. Hal-hal kecil-kecil semisal bagaimana sopan santun seorang santri masuk ke majlis gurunya saat teman-temannya yang lain telah tiba lebih dulu, bagaimana cara bertanya atau menyanggah pemikiran gurunya yang tidak dia pahami atau tidak dia setujui, bagaimana cara menyerahkan selembar kertas berisi catatan kepada sang guru, bahkan sampai bagaimana cara memberikan pisau kepadanya, semua itu tak luput dari bahasan kitab ini. Dan hal ini mengindikasikan luasnya ilmu pengarang dan luasnya telaah terhadap kitab-kitab yang ada, terutama dalam tema ini.
Mengakhiri tulisan ini, saya berharap agar acara ini bukan sekadar ritus acara dan formalitas belaka. Tapi ada kenangan yang membekas pada siapapun yang terlibat, utamanya semangat membumikan khazanah keilmuan islam. Wallahul Muwafiq.
Sumber tulisan : https://alfinkarangan.blogspot.com/2020/02/membumikan-khazanah-keilmuan-islam.html