Khazanah Pesantren cukup akrab dengan prosesi penggundulan santri yang melanggar peraturan pondok, di belahan pesantren manapun seringkali mempraktekkan model ta’zir atau sanksi ini. Pada umumnya santri yang kegap merokok, keluar tanpa izin, mencuri, dan seabrek kasus lainnya, mereka akan dicukur habis rambutnya. Proses ini jamak disebut dengan gundulan atau digundul. Lalu prosesi ini atas inisiasi siapa?

Guru Besar Universitas Al-Azhar, Abdul Aziz Muhammad Azam mereportasekan bahwa model sanksi penggundulan ini dilakukan pertama kali oleh Amirul Mukminin Al-Faruq Umar bin Khattab. Ketika Syekh Abdul Aziz ini membahas sebuah kaidah fikih yang berbunyi “Suatu hukum akan berubah seiring perkembangan zaman”, beliau menjelaskan bahwa konsep demikian ini tetap harus memperhatikan prinsip kemaslahatan. Oleh karenanya, terdapat beberapa kasus yang tidak terjadi pada zamannya Rasulullah SAW, sehingga beliau sebagai pimpinan melakukan ijtihad. Di antaranya adalah sanksi gundul ini, dikatakan;

الفرع الحادي عشر: أن عمر بن الخطاب كان يحلق الرأس وينفى ويضرب ويحرق حوانيت الخمارين، والقرى التي تباع فيها الخمر، وحرق قصر سعد بن أبي وقاص في الكوفة لما احتجب عن الرعية وكان عمر له في التعزير اجتهاد وافقه عليه الصحابة لحدوث أسباب اقتضته لم يكن مثلها في زمن رسول الله علل أو كانت ولكن الناس زادوا عليها وتتابعوا فيها، فقد زاد عمر في حد الخمر لما زادوا في شربها وتتابعوا فيه عما كان عليه الحال في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم  فجعل عمر حد الخمر ثمانين ونفى فيه، وهذا باب واسع وقع فيه الاشتباه على كثير من الناس تبعا لاختلاف المصالح وجوداً وعدما.

            “Khalifah Umar bin Khattab memberikan sanksi yang tidak ada di zamannya Rasulullah SAW, contohnya seperti penggundulan, pengasingan, dipukul, membakar kedai dan daerah minuman keras, dan bahkan beliau pernah membakar istananya Saad bin Abi Waqqas di Kufah saat ia bersembunyi dari masyarakat nya. Sayyidina Umar memang melakukan ijtihad atas beberapa model sanksi baru, yang mana ini tidak ada di zamannya Rasulullah SAW. Hal ini disebabkan adanya kasus yang tidak ditemui pada zamannya Nabi Saw, sehingga membutuhkan formulasi baru, dan inipun didukung oleh para sahabat. Contoh lain adalah bahwa beliau menambah jumlah jilidan pada pecandu khamr, yang semula 40 menjadi 80”. (Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah,  H. 203)

Sebelum Abdul Aziz Muhammad Azam, sudah ada yang mereportasekan ini sebelumnya. Yaitu Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, beliau menyatakan;

الأحكام نوعان: نوع لا يتغير عن حالة واحدة هو عليها، لا بحسب الأزمنة، ولا الأمكنة، ولا اجتهاد الأئمة، كوجوب الواجبات، وتحريم المحرَّمات، والحدود المقدّرة بالشرع على الجرائم، ونحو ذلك. فهذا لا يتطرق إليه تغيير ولا اجتهاد يخالف ما وُضع عليه. والنوع الثاني: ما يتغير بحسب اقتضاء المصلحة له زمانًا ومكانًا وحالاً، كمقادير التّعْزيراتِ، وأجناسها، وصفاتها؛ فإن الشارع يُنوِّعُ فيها بحَسْبِ المصلحة: فشرعَ التعزيرَ بالقَتْلِ لمدمِن الخمر في المرَّة الرابعة. وعَزَمَ على التعزير بتَحْريق البيوت على المتخلِّف عن حضور الجماعة، لولا ما منعه من تَعَدِّي العقوبة إلى غير مَنْ يَستَحِقّها من النساء والذّرية. وعَزّرَ بحِرْمان النصيب المستحَق من السّلَب. وأخبر عن تعزير مانع الزكاة بأخذ شَطْرِ ماله. وعَزّر بالعقوبات المالية في عدّة مواضع.

            “Hukum terbagi menjadi dua macam. Ada yang tidak bisa berubah, meski zaman dan tempatnya beda dan ijtihadnya pemerintah. Contohnya adalah seperti perkara-perkara wajib, haram, dan sanksi-sanksi yang telah ditetapkan syariat. Dan jenis yang kedua, yaitu hukum bisa berubah sesuai dengan tinjauan maslahat dalam segi masa, tempat dan kondisi. Contohnya seperti kadar ta’zir, jenis dan sifatnya. Sebab syari’ (pembuat syariat) ini memberikan sanksi sesuai dengan maslahat yang ada. Contohnya adalah putusan Rasulullah SAW dalam kasus dibunuhnya pecandu minuman keras pada kasusnya yang keempat, dst”.

Ibnu Qayyim menjelaskan lebih lanjut, bahwa model sanksi-sanksi ini ada juga yang baru di zamannya Sahabat. Di antaranya adalah ijtihadnya Sahabat Umar;

وكذلك أصحابه، تنوّعوا في التعزيرات بعده: فكان عمر رضي الله عنه يَحلق الرأس، وينفي، ويضرب، ويُحرّق حوانيت الخمَّارين، والقرية التي تُباع فيها الخمر، وحرّق قصر سعدٍ بالكوفة لما احتجب فيه عن الرعية… فمن ذلك: أنهم لما زادوا في شرب الخمر، وتتايعوا فيه، وكان قليلاً على عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، جعله عمر رضي الله عنه ثمانين، ونفى فيه. ومن ذلك: اتخاذه دِرّة يضرب بها من يستحقُّ الضرب. ومن ذلك: اتخاذه دارًا للسَّجن. ومن ذلك: ضربه للنوائح حتى بدا شَعْرها. وهذا باب واسع، اشتبه فيه على كثيرٍ من الناس الأحكامُ الثابتة اللازمة التي لا تتغير، بالتعزيرات التابعة للمصالح وجودًا وعدمًا. ومن ذلك: أنه رضي الله عنه لما رأى الناس قد أكثروا من الطلاق الثلاث، ورأى أنهم لا ينتهون عنه إلا بعقوبة، فرأى إلزامهم بها عقوبةً لهم، ليكفّوا عنها.

            “Demikian pula para sahabat, mereka juga melakukan terobosan baru dalam jenis sanksi. Di antaranya adalah Sahabat Umar bin Khattab, beliau melakukan penggundulan, pengasingan, pemukulan, pembakaran kedai minuman keras, daerah-daerah yang menjualnya, dan membakar istana persembunyian Sa’ad bin Abi Waqqas di Kufah. Selain itu, beliau juga menambah jumlah jilidan menjadi 80x bagi para pecandu minuman keras. Kemudian beliau juga memukul orang yang berperkara dengan sebuah tangkai pohon dirrah, membuat penjara, memukul nawaih (orang yang melakukan niyahah, menangisi jenazah dengan keras dan melampaui batas) sampai terlihat rambutnya, serta meluzumkan (memberikan putusan final) penjatuhan talak tiga sekaligus”. (Ighatsat Al-Lahfan,)

Lalu beberapa ijtihad model sanksi ini diterapkan dalam kasus apa? Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan;

(عُزِّرَ لِمَعْصِيَةٍ لَا حَدَّ لَهَا وَلَا كَفَّارَةَ) سَوَاءٌ أَكَانَتْ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى أَمْ لِآدَمِيٍّ كَمُبَاشَرَةِ أَجْنَبِيَّةٍ فِي غَيْرِ الْفَرْجِ وَسَبٍّ لَيْسَ بِقَذْفٍ وَتَزْوِيرٍ وَشَهَادَةِ زُورٍ وَضَرْبٍ بِغَيْرِ حَقٍّ بِخِلَافِ الزِّنَا لِإِيجَابِهِ الْحَدَّ وَبِخِلَافِ التَّمَتُّعِ بِطِيبٍ وَنَحْوِهِ فِي الْإِحْرَامِ لِإِيجَابِهِ الْكَفَّارَةَ وَأَشَرْت بِزِيَادَتِي غَالِبًا إلَى أَنَّهُ قَدْ يُشْرَعُ التَّعْزِيرُ وَلَا مَعْصِيَةَ كَمَنْ يَكْتَسِبُ بِاللَّهْوِ الَّذِي لَا مَعْصِيَةَ مَعَهُ وَقَدْ يَنْتَفِي مَعَ انْتِفَاءِ الْحَدِّ.

            “Orang yang melakukan maksiat, namun tidak masuk pada kategori sanksi had dan kafarat, maka yang bersangkutan akan dita’zir atau disanksi lain. Yang demikian ini berlaku bagi yang berperkara dengan haknya Allah swt dan Manusia, seperti melakukan pelecehan seksual di selain alat kelamin (seperti mencium, begal payudara dsb), mengumpat orang lain (selain qadzaf, menuduh zina), melakukan pemalsuan, memberikan saksi bohong, memukul tanpa adanya hak. Lain halnya dengan kasus zina, maka tidak dita’zir. Sebab kasus ini sudah ada sanksinya sendiri -berupa had- yang ditetapkan syariat. Dan juga mengecualikan kasus memakai pewangi saat ihram, karena ini disanksi dengan kafarat. Selain pada kasus yang sudah ditetapkan sanksi had dan kafarat, kadang kala ta’zir juga diberlakukan pada kasus bermain lahw (seauatu yang bisa melupakan diri) yang bukan maksiat”. (Fath Al-Wahhab,)

Sanksi-sanksi ini juga diberikan pada orang yang berperkara dalam kasus berikut;

(قَوْلُهُ: كَمَنْ يَكْتَسِبُ بِاللَّهْوِ الَّذِي لَا مَعْصِيَةَ مَعَهُ) أَيْ وَكَمَا فِي تَأْدِيبِ الطِّفْلِ، وَالْمَجْنُونِ اهـ عَمِيرَةُ اهـ سم وَأَمَّا مَنْ يَكْتَسِبُ بِالْحَرَامِ فَالتَّعْزِيرُ دَاخِلٌ عَلَيْهِ فِي الْحَرَامِ لِأَنَّهُ مِنْ الْمَعْصِيَةِ الَّتِي لَا حَدَّ فِيهَا وَلَا كَفَّارَةَ وَمِنْ ذَلِكَ مَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِهِ فِي مِصْرِنَا مِنْ اتِّخَاذِ مَنْ يَذْكُرُ حِكَايَاتٍ مُضْحِكَةٍ وَأَكْثَرُهَا أَكَاذِيبُ فَيُعَزَّرُ عَلَى ذَلِكَ الْفِعْلِ وَلَا يَسْتَحِقُّ مَا يَأْخُذُهُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ رَدُّهُ إلَى دَافِعِهِ وَإِنْ وَقَعَتْ صُورَةُ الِاسْتِئْجَارِ لِأَنَّ الِاسْتِئْجَارَ عَلَى ذَلِكَ الْوَجْهِ فَاسِدٌ وَكَتَبَ أَيْضًا لَطَفَ اللَّهُ بِهِ قَوْلُهُ: كَمَنْ يَكْتَسِبُ بِاللَّهْوِ. . . إلَخْ كَاللَّعِبِ بِالطَّارِ، وَالْغِنَاءِ فِي الْقَهَاوِي مَثَلًا وَلَيْسَ مِنْ ذَلِكَ الْمُسَمَّى بِالْمُزَاحِ اهـ.

            “Selain diberlakukannya ta’zir pada kasus bermain lahw yang bukan maksiat, menurut Syekh Amirah juga bisa diterapkan pada anak kecil dan orang gila. Adapun orang yang bermain dengan perkara haram yang tidak masuk pada ketegori had dan kafarat, maka juga bisa dita’zir. Contohnya adalah yang sedang berlaku di zaman ini, yaitu menceritakan anekdot (semacam standup dengan materi dusta) yang mayoritas isinya adalah bohong, maka ia dita’zir juga dan yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan upah. Sekalipun diberi, maka harus mengembalikannya. Contoh lainnya adalah bermain Thar (semacam kartu) dan nyanyi di warung kopi”. (Hasyiyah Al-Jamal,)

Dengan demikian bisa diketahui bahwa sanksi berupa penggundulan ini diinisiasi oleh Umar Bin Khattab, dan perlu diketahui bahwasanya pada kasus yang tidak ada sanksi ahad dan kafaratnya ini di sanksi dengan ijtihadnya seorang penegak hukum sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Wallahu A’lam bi Al-Shawab, semoga bermanfaat.

 

*Ahmad Hidhir Adib, Alumni Ma’had Aly UIN Maliki Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?