Agama sebagai sebuah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Agama diturunkan guna memberikan aturan-aturan hidup yang akan membawa kebahagiaan, kesejahteraan serta kedamaian bagi kehidupan manusia.
Dalam agama Islam ada dua kitab yang menuntun umat Muslim menjadi khalifah di muka bumi, dengan keduanya tidak akan mengalami kesesatan, tak lain kitab itu bernama “al-Qur’an” dan “al-Hadits”. Kendati demikian, untuk memahami dua teks suci tersebut, perlu membaca penafsiran-penafsiran para kesarjanaan Muslim yang realiabel serta kompatibel, sehingga menghasilkan sebuah pemikiran yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Termasuk dari hasil ijtihad para ulama, yaitu fiqh, sebuah fan ilmu yang menjadi pedoman umat Islam dalam melakukan aktifitas sehari-hari, khususnya dalam tataran hubungan antara manusia dengan Tuhan (Hablum minal Allah), bisa disebut juga Fiqh al-Ibadah serta hubungan antara sesama manusia (habli minan nas) atau fiqh al-mualamah.
Agama Islam yang bercirikan sholihun li kulli zaman wa makan harus bisa menghadapi tantangan global serta memberikan solusi permasalahan global hari ini. Termasuk dari permasalahan global yang perlu direspon serius adalah perdamaian dunia. Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh umat beragama se-dunia untuk menciptakan perdamaian dunia, karena perdamaian dunia menjadi permasalah gawat-darurat yang perlu dibicarakan secara masif. Salah satu respons serius terkait perdamaian dunia, adanya forum R20. Salah satu tujuan pagelaran ini mengajak para pemimpin agama untuk mengidentifikasi dan merangkul nilai-nilai mulia yang bersumber dari agama dan peradaban besar dunia. Suyitno mengatakan bahwa forum R20 diharapkan bisa memberikan kontribusi positif sebagai upaya mengoptimalkan peran agama dalam menghadapi tantangan global, termasuk dalam konteks membangun perdamaian dunia.
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Nusantara bahkan dunia, juga ikut andil dalam membangun perdamaian dunia. Sudah ada beberapa gerakan konkrit dari organisasi yang didirikan oleh Syeikh Hasyim Asy’ari ini untuk membangun perdamaian global. Gerakan termutakhir NU dalam rangka menghadapi serta memberikan solusi terhadap permasalah global hari ini ialah program Halaqah Fiqh Peradaban. Gus Ulil menyebutkan bahwa program ini merupakan salah satu cara Ketua Umum PBNU Gus Yahya untuk menghidupkan Gus Dur. Terdapat empat perubahan peradaban dunia yang harus direspon NU, sebagaimana Gus Yahya menyebutkan dalam bukunya “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama”. Pertama, perubahan tata politik dunia terkait peta politik dan identitas agama. Kedua, perubahan demografi atau komposisi penduduk dunia. Ketiga, perubahan standar norma dan Keempat, perubahan karena globalisasi.
Dalam rangka merespon serius perubahan peradaban dunia, Halaqah Fiqh Peradaban mengusung lima tema besar berkaitan dengan Fiqh Siyasah; 1. Fikih Siyasah dan Negara Bangsa, 2. Fikih Siyasah dan Kewarganegaraan, 3. Fikih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas, 4. Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru, dan 5. Fikih Siyasah Antara Perang dan Damai.
Acara ini digelar di 250 pondok pesantren. Ponpes Nurul Jadid, Paiton terpilih menjadi salah satu tempat untuk forum ilmiah ini, NJ dimandati memberikan sebuah rumusan terkait Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru. Ada beberapa tokoh yang menjadi narasumber dalam forum halaqah ini, diantaranya: KH. Afifuddin Muhajir (Wakil Rais Aam PBNU), KH. Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU), KH. Moh. Saeful Bahar (Dosen UIN Sunan Ampel) dan K. Muhammad al-Fayyadl, M.phil (Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid).
Ada gagasan menarik yang ditawarkan oleh Gus Fayyadl pada forum ini. Kiai Muda NU tersebut sekurangnya memberikan dua usulan konsep aktual Fiqh Siyasah untuk menghadapi tatanan dunia baru.
Reaktualisasi Term Darul Islam wa Darul Harb
Gus Fayyadl menyampaikan akan butuhnya pemikiran ulang mengenai permasalahan Darul Islam dan Darul Harb untuk menghadapi tatanan dunia baru hari ini yang sudah kompleks dan multi aktor. Darul Islam secara makna memiliki arti Negara Islam, Negara di mana mayoritas penduduknya beragama Islam. Sedangkan Darul Harb memiliki makna sebaliknya, Negara yang dihuni oleh (mayoritas) orang-orang kafir. Relevansinya untuk tatanan dunia hari ini perlu dipertanyakan. Karena secara realitas bahwa al-Harb (perang) dalam fiqh siyasah bukan merupakan sebuah tujuan, melainkan sebagai wasilah. frase al-Harb sendiri menyalami pergeseran makna dari masa ke masa. Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid tersebut menyitir pendapat Dr. Zuhail Husein al-Fadli bahwa al-Harb merupakan sebuah perang yang dipersenjatai dari kedua belah pihak. Definisi ini yang lebih akrab pada tatanan dunia abad 21 karena definisi-definisi al-Harb di dalam nash memiliki beberapa makna, diantaranya: Pertama, al-khuruj an thoatillah, adanya pembangkangan terhadap Allah bukan bermakna perang yang dipersenjatai. Kedua, al-kaid atau tipu daya. Makna ini cocok di era virtual masa kini, karena hari ini sebenarnya bukan hanya peradaban politik melainkan juga peradaban digital, bagaimana spionase, hacking atau rekayasa-rekayasa sekarang, ada pula istilah teror yang sangat dominan hari ini. Ketiga, al-ida’ lillahi wa rasulih, permusuhan secara terang-terangan kepada Allah dan Rasulnya.
Kesarjanaan Filsafat alumnus Perancis itu mengatakan bahwa di abad ke-21 dengan melihat konstitusi-konstitusi negara hari ini, tidak ada satupun yang memusuhi Islam. Mungkin secara individu masih ada pemerintah yang tidak suka kepada Islam, terang-terangan menyatakan musuh kepada Islam, namun secara negara itu sendiri terang-terangan menyakan “kami anti Islam atau anti Muslim” dirasa tidak ada hari ini. Hal ini menjadi salah satu alasan untuk mengurangi secara drastis penggunaan istilah darul al-Harb, bahkan sebisa mungkin dihapus karena sudah tidak relevan.
Usulan konsep yang diutarakan oleh Gus Fayyadl adalah mengaktualisasi term darul Islam dan darul al-harb menjadi darud da’wah (darut tho’at, darul ma’ashi wa al-fusuq wadz dzulmi), karena pada masa kini tidak ada kekafiran an sich, melainkan ekpresi paling luar dari kekafiran itu yang tak lain adalah perbuatan maksiat, kefasikan dan kedhaliman. Sehingga dari konsep ini, akan melahirkan sebuah narasi bahwa semua negara hari ini merupakan darul dakwah bagi umat Islam.
Reaktualisasi Term Hifzul Bi’ah
Dalam maqasid as-syariah, kita kenali dengan lima kaidah-kaidah inti, diantaranya: hifdzu ad-din (menjaga Agama), hifdzu an-nafs (menjaga jiwa), hifdzu al-‘aql (menjaga akal), hifdzu al-nasl (menjaga keturunan) dan hifdzu al-mal (menjaga harta). Ada satu kaidah yang lahirannya belakangan, ialah hifdzu al-bi’ah (menjaga lingkungan). Dikatakan lahirnya belakangan karena dalam kitab-kitab babon maqasid as-syariah kaidah tersebut belum ditemukan, baru lahir dari pemikiran kesarjanaan Muslim modern, seperti Ibnu ‘Asyur, sekalipun hal ini masih diperdebatkan. Syeikh Yusuf Qardlawi menyatakan bahwa sejatinya hifdzu al-bi’ah (menjaga lingkungan) sama dengan menjaga lima kaidah inti yang terdapat dalam maqasid as-syariah.
Oleh karena itu, Gus Fayyadl mengusulkan istilah hifdzu al-bi’ah dimaknai menjadi hifdzu al-balad atau hifdzu al-waton sebagai salah satu maqasid as-syariah di dalam konteks tatanan dunia baru. Karena secara rasional, semua hifdzu ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl dan al-maal tidak akan berguna ketika sebuah negara diinvasi dan dikolonisasi.
Maka dari dua usulan konsep aktual yang ditawarkan Gus Fayyadl di atas, penulis menyimpulkan bahwa sangat mungkin konsep itu diterapkan untuk menghadapi tantangan global masa kini, khususnya untuk menciptakan perdamaian dunia. Dan sah-sah saja dua konsep itu lahir, mengingat bahwa Fiqh Siyasah termasuk ke dalam term Fiqh Mu’amalah yang bercirikan “dasar dari mu’amalah adalah sebuah kebolehan selama tidak ada nash yang mengikarinya”.
* Ust. Mustain Romli, Musyrif Mahad Aly Nurul Jadid.