Rasulullah SAW. itu kalau berbicara atau menjawab pertanyaan selalu menyesuaikan dengan sifat atau latar sosial lawan bicaranya atau kondisi obyektif zamannya. Misalnya saat ditanya tentang amalan apa yang paling utama dalam Islam, sedang si penanya kebetulan agak lalai terhadap shalat, maka beliau menjawab: “Shalat di awal waktunya”. Kemudian, di waktu yang lain, pertanyaan yang sama dari orang lain yang kebetulan agak kikir, beliau jawab: “Memberi makanan”.
Contoh lain, ziarah kubur pada mulanya dilarang, kenapa? Karena keimanan kaum Muslim kala itu masih labil dan dikhawatirkan berujung pada pemujaan terhadap ahli kubur. Tetapi begitu keimanan mereka telah kuat membaja, beliau bukan saja membolehkannya, melainkan sangat menganjurkannya. Sabda beliau:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
“Dulu aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarahlah” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Janaiz, no. 1278, dan Muslim dalam Kitab al-Janaiz, no. 937, keduanya dari Buraidah radhiyallahu anhu).
Hal yang sama dilakukan Rasulullah ketika berbicara tentang penularan penyakit. Pada mulanya dengan tegas beliau menyatakan لا عدوى, tidak ada penularan penyakit! (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Thibb, 5717). Bahkan saat seseorang mencecar beliau dengan pertanyaan, tidak ada penularan bagaimana, lha wong kenyataannya kalau ada unta yang sehat didatangi unta lain yang kudisen maka yang sehat itu jadi sakit? Rasulullah balik bertanya:
فمن أعدى الأول؟, “Lalu siapa yang menulari unta yang sakit pertama kali itu?” (HR. Muslim, no. 2220).
Tetapi dalam kesempatan lain, Rasulullah malah mengakui adanya penularan penyakit seperti diriwayatkan Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu (II/443):
اتقوا المجذوم كما يتقى الأسد
“Jauhilah orang yang berpenyakit kusta seperti menjauhi harimau🐅“.
Memaknai kedua pernyataan yang paradoks tersebut begini :
Adanya penularan penyakit itu kenyataan yang tak bisa disangkal. Itu telah terbukti secara medis, dibenarkan oleh akal (logis), dialami oleh banyak orang (empiris) dan dibenarkan pula oleh agama. Masalahnya, adakalanya seseorang meyakini penularan itu subyektif dan pasti. Subyektif artinya, dia menular dengan kemampuannya sendiri terlepas dari kehendak dan kuasa Tuhan. Pasti artinya, bila kontak fisik terjadi antara yang sakit dengan yang sehat maka penularan pasti terjadi. Kepada orang dengan tipe inilah hadits لا عدوى itu ditujukan. Rasulullah hendak menekankan bahwa meskipun penularan itu nyata-nyata ada tetapi tidak lepas dari kehendak dan kuasa Allah. Jika Dia berkehendak menularkannya, maka penularan pun terjadi dan yang sehat jadi sakit. Jangankan cuma menularkan, lha wong membuatnya sakit tanpa penularan saja bisa kok seperti dipertanyakan Rasullullah di atas: “Lalu siapa yang menulari unta yang sakit pertama kali?”. Sebaliknya, jika Dia tidak berkehendak maka seberapa pun eratnya kontak fisik antara keduanya, yang sehat tetap saja sehat. Dalam satu keluarga kadang si suami menderita TBC, tetapi istrinya sehat.
Adapun hadits kedua diperuntukkan bagi orang yang keyakinannya terhadap Allah dalam hal ini sudah benar, tetapi agar tidak mengandalkan takdir dan kehendak Allah maka dia dianjurkan melakukan ikhtiar nyata, yaitu menjauhi orang yang terpapar suatu penyakit menular. Inilah konsep isolasi dan karantina yang telah diluncurkan Rasulullah sejak 14 abad lampau.
Jadi, hadits yang pertama itu koreksi terhadap akidah yang salah, sedang hadits kedua anjuran agar tidak bersikap abai terhadap ikhtiar, wallahu a’lam
Penulis : KH. Zainul Mu’in Husni, Lc. (Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid)