Ilmu ushul fikih adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fikih secara global atau metode-metode yang digunakan mujtahid untuk menghasilkan hukum syariat (hukum-hukum fikih). Sebab itu, mempelajari ilmu ushul fikih merupakan hal yang sangat penting terutama bagi para santri yang sedang mendalami ilmu fikih. Ilmu ushul fikih merupakan akar dari tumbuhnya hukum-hukum fikih. Sehingga apabila kita telah mengetahui ilmu ini, pemahaman kita akan lebih kuat dan matang ketika mempelajari ilmu fikih.

Salah satu diantara beberapa pembahasan di dalam ilmu ushul fikih yaitu al-Qawaid al-Ushuliyah al-Lughawiyah. Materi ini membahas tentang kaidah-kaidah tata bahasa. Bahkan menjadi poin yang sangat penting di dalam ilmu ushul fikih. Karena dengannya, makna-makna yang terkandung dalam al-Quran dan al-sunah bisa dipahami.

Kajian di dalam al-Qawaid al-Ushuliyah al-Lughawiyah lebih terfokuskan pada kajian lafadz, makna dan dalalah. Seperti persoalan tentang lafadz am-khas, mutlak-muqayyad, haqiqat-majas, dzahir-nash, musytaraq-mutharadif, amar-nahi, muhkam-mujmal dan mutasyabih.

Dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk membahas perbedaan antara nash (نص ) dan dzahir (ظاهر ) di dalam ilmu ushul fikih. Sekedar memberikan pemahaman terkait definisi, contoh atau komponen-komponen lain yang masih berkaitan.

Secara definisi, nash adalah setiap lafadz yang hanya memiliki satu makna (arti). Artinya, lafadz tersebut tidak bisa dipalingkan dari satu makna kepada makna yang lain. Seperti contoh lafadz yang tertera di dalam surat al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi :

فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

Artinya : “Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidilharam.”

lafadz عشرة pada ayat tersebut menunjukkan makna bilangan sepuluh. dilihat dari kepastian lafadznya yang hanya memiliki satu makna, sehingga pemahaman dari lafadz عشرة yang berarti sepuluh tidak bisa dipalingkan kepada jumlah bilangan yang lain.

Sebab itu, lahirlah dari dalil al-quran tersebut sebuah hukum fikih berupa kewajiban berpuasa sepuluh hari bagi orang yang meninggalkan ibadah wajib disaat sedang melakukan ihram ibadah haji sebagaimana yang telah diketahui.

Berbeda halnya dengan dzahir. Dzahir merupakan lafadz yang memiliki dua makna, yang mana salah satu maknanya lebih dominan dari pada yang lain. Dua makna tersebut yaitu makna rajih (makna yang unggul) dan marjuh (makna yang diungguli). Artinya, diantara dua makna tersebut, makna rajih merupakan makna yang lebih kuat dari pada yang lain jika ditinjau dari aspek keterkaitan antara lafadz dan maknanya dalam istilah bahasa arab.

Seperti contoh lafadz اسد yang memiliki dua makna. Jika ditinjau dari makna hakikatnya lafadz اسد berarti hewan buas. Sedangkan secara makna majas berarti laki-laki pemberani. Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa arti hewan buas merupkan makna rajih, sedangkan laki-laki pemberani merupakan makna marjuh. Makna singa lebih kuat sebab merupakan makna secara hakikat.

Di dalam kitab Qawaidul Asasiyah Fi Ushulil Fikih karangan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dijelaskan :

وهذا الظاهر اذا اشكل مفهومه حمل الفظ على الاحتمال المرجوح واول عليه بالدليل

Artinya : jika suatu lafadz (dzahir) masih belum jelas pemahamannya, maka lafadz tersebut diarahkan kepada makna yang marjuh serta dita’wil dengan sebuah dalil.

Dalam ibarah tersebut dijelaskan bahwa apabila sebuah lafadz menghasilkan pemahaman yang tidak jelas ketika ditinjau dari makna rajih, maka pemahaman lafadz tersebut bisa dipalingkan kepada maknanya yang marjuh dengan syarat adanya sebuah dalil yang jelas dan kuat.

Proses seperti ini, ulama ushul mengistilahkan sebagai takwil. Takwil adalah pengalihan makna sebuah lafadz dari satu makna ke makna yang lain disebabkan ada dalil. Seperti contoh pada dalam surat al-Qur’an yang berbunyi :

وَٱلسَّمَآءَ بَنَيْنَٰهَا بِأَيْي۟دٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (QS. adz-Dzariat : 47)

Lafadz يد pada ayat tersebut memiliki dua arti. Arti yang pertama yaitu tangan secara jasmani. Arti ini dikategorikan sebagai makna rajih. Kemudian arti yang kedua yaitu kekuasaan. Arti ini dikategorikan sebagai makna marjuh.
Akan tetapi ketika kita memahami konteks dari ayat tersebut, apabila lafadz يد di dalam ayat tersebut dimaknai sebagai tangan secara jasmani, maka akan menimbulkan pemahaman bahwa Allah memiliki tangan. Sedangkan Allah Maha Suci dari sifat tersebut.

Kita ketahui sendiri bahwa Allah memiliki sifat mukholafatuhu lil hawaditsi, yakni Allah berbeda dengan makhluknya. Berbeda dalam segi bentuk, sifat, dan pekerjaannya. Sebagaimana terlampir di dalam surat al-ikhlas yang berbunyi :

وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas : 04)

Maka lebih cocoknya, lafadz يد pada ayat tersebut dimaknai sebagai kekuasaan. Proses penggunaan makna seperti ini menggunakan argumen dalil secara akal (burhan al-aqliyyi). Hasil pemahaman melalui proses seperti ini oleh ulama ushul dinamakan dzahir bid dalil. Yang artinya lafadz tersebut bisa digolongkan terhadap lafadz dzahir setelah dita’wil dengan sebuah dalil yang jelas.

Bisa diambil kesimpulan, kita sebagai pelajar perlu untuk tidak memahami teks al-Quran secara gamblang. Sebab para mujtahid saja untuk menemukan pemahaman yang jelas butuh proses yang begitu panjang. Setidaknya hal ini menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus belajar lebih giat lagi dalam menuntut ilmu. Untuk menangkis pemahaman-pemahaman keliru yang disebabkan oleh kurangnya kualitas keilmuan kita. Wassalam.

*Imam Thobroni, Mahasantri Semester Lima Ma’had Aly Nurul Jadid

By Alfin Haidar Ali

Mahasantri Semester Akhir Ma'had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Chat
1
Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu ?