Setelah publik dikejutkan oleh gelombang penghinaan terhadap para habaib yang sempat menghebohkan jagat maya, kini masyarakat kembali dibuat geram oleh viralnya tayangan yang dinilai merendahkan martabat para kiai, pondok pesantren, dan para santri yang tengah menuntut ilmu.
Pada Senin, 13 Oktober 2025, program Xpose Uncensored yang ditayangkan oleh Trans7 menyoroti Pondok Pesantren dan martabat para kyai dengan narasi yang kontroversial. Dalam tayangan tersebut, terdengar pernyataan yang menyudutkan:
“Santrinya minum susu aja kudu jongkok. Emang gini kehidupan pondok? Kiainya yang kaya raya, tapi umatnya yang kasih amplop.”
Pernyataan ini bukan hanya mencerminkan ketidaktahuan terhadap tradisi dan adab pesantren, tetapi juga mencederai nilai-nilai kesopanan dan etika, merusak citra ulama, dan menyakiti hati jutaan umat Islam yang menjunjung tinggi kehormatan para kiai dan lembaga pendidikan Islam.
Pondok pesantren bukan sekadar tempat untuk para santri belajar, melainkan benteng peradaban, pusat pembinaan akhlak, dan induk penjagaan nilai-nilai luhur bangsa. Santri bukan hanya pelajar biasa, tetapi generasi penerus yang ditempa dengan ilmu, kesederhanaan, dan keteguhan moral yang ia pegang. Kiai bukan hanya sekadar guru, tetapi panutan spiritual yang telah menuntun para santrinya dan mengabdikan hidupnya untuk umat.
Sudah sepatutnya media menjalankan perannya dengan bijak, adil, dan bertanggung jawab. Kebebasan berekspresi tidak boleh menjadi dalih untuk menyebarkan narasi yang menyesatkan dan merendahkan simbol-simbol keagamaan tanpa adanya pengetahuan yang mendasar.
Menanggapi tayangan kontroversial Trans7 tentang Pondok Pesantren dan martabat para kyai, Gus Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid, turut angkat bicara. Dalam komentarnya, beliau menyoroti posisi pesantren dalam industri media nasional:
“Dalam peta industri media, kita orang pesantren masih berposisi sebagai pengguna dan penyumbang konten, bukan pemilik dan pengelola. Kita belum berdaya. Yang di puncak pabrik itu ya mereka-mereka. Kita kadang keracunan produk mereka, karena kita hanya konsumen.”
Pernyataan ini menggambarkan realita yang kurang mengenakkan bahwa kalangan pesantren, meski memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa, masih belum sepenuhnya memiliki kendali dalam arus informasi dan narasi publik. yang seharusnya menjadi alat syiar dan edukasi, justru kerap menjadi sumber perpecahan umat
Tak berhenti disitu, Gus Fayyadl melanjutkan dengan sebuah gagasan yang mengundang penuh harapan.
“Kalau alfaqir ilaAllah berani usul: bagaimana kalau stasiun Trans7 kita beli saja hak usahanya? Menjadi milik NU atau pesantren. Santri urunan saham beli Trans7. Lalu dikelola agar bisa dipakai syiar yang islami. Daripada memusuhi Trans7, lebih baik kita memilikinya. Mengingat, sampai sekarang, pemilik TV di Indonesia bukan kalangan pesantren. Kita orang pesantren masih terpinggirkan dalam industri televisi.”
Dalam pernyataan ini bukan hanya sekadar usulan, melainkan sebuah ajakan dari konsumen pasif menjadi pelaku aktif dalam industri media. Dengan memiliki dan mengelola media sendiri, pesantren dapat membangun narasi yang adil, edukatif, dan mencerminkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Gagasan ini layak untuk didiskusikan bersama lebih lanjut, bukan hanya sebagai respons atas ketidakadilan media yang sering terjadi, tetapi sebagai langkah strategis menuju kemandirian informasi dan penguatan peran pesantren dalam membentuk sebuah narasi publik.
Deni Alfarizi, Mahasantri Aktif Ma’had Aly Nurul Jadid