Akhir-akhir ini ada sekelompok umat islam yang mengaku paling nyunnah, seringkali meyalahkan dan membid’ahkan amaliah umat islam Indonesia. Disamping mereka juga menawarkan tonsep tauhid yang benar-benar baru bagi khalayak Muslim Indonesia, konsep tersebut bernama tauhid uluhiyah, rububiyah, asma’ wa sifat. Belum lagi berbicara ayat-ayat sifat, yang mana penyikapan mereka berbanding terbalik dengan keyakinan yang telah mapan di negeri +68 ini.
Bagi kita, Islam ala ahlussunah wal jamaah an-nahdliyah, ayat ayat sifat tidak boleh didiartikan apa adanya. Ia mesti di takwil (dialihkan dari makna sebenarnya), kenapa? Karena jika di takwil, kita akan terjerumus kepada mumatsalatuhu li hawadisi, menyamakan Allah dengan yang baru, dan itu dilarang dalam ajaran Islam. Misalnya surat Thaha : 5 Allah berfirman: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى Artinya: “Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) bersemayam” Menurut paham mereka menta’ wil ayat sifat tidak di perkenankan dan termasuk perbuatan bid’ah.
Syekh Bin Baaz salah satu ulama panutan mereka yang fatwa-fatwanya menjadi rujukan, menjawab sebagai berikut saat ditanya perihal pentakwilan ayat ayat sifat. “Tidak boleh mentakwil sifat-sifat Allah, tidak juga mengalihkan dari makna yang dzahir yang sesuai dengan Allah, juga tidak menyerahkan maknanya sepenuhnya kepada-Nya, semua itu termasuk keyakinan ahli bid’ah”. Artinya, jika penafsiran ayat الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى jika di serahkan kepada kelompok mereka, maka akan di tafsiri dengan ma’na dhohir ayat, yang artinya akan terjerumus kepada mumatsalatsuhu lil hawadisi, menyamakan (Allah) dengan Yang baru.
Contoh lainnya adalah ayat يد الله فوق ايديهم Kata يد الله apabila di maknai secara dhohir berarti ” tangan Allah”. Seperti itulah mereka menafsiri ayat sifat mutasyabihat, mereka enggan untuk mentakwil misalnya dengan “kekuasaan Allah”. Untuk contoh lainnya, kalian bisa googling dengan kata kunci “Allah di mana”, atau “hukum menta’wil ayat- ayat sifat”, insyallah dalam hitungan detik seabrek jawaban dari ustadz mereka (wahabi-salafy) akan dengan mudah di temukan. Namun, dari semua jawaban yang mereka ajukan, pasti mengarah kepada satu titik yakni “ayat-ayat sifat tidak boleh di takwil”, harus di tafsiri dengan makna dhohirnya.
Benarkah cara mereka dalam menafsiri ayat ayat sifat?
Mari kita bandingkan dengan pendapat ulama otoritatif dalam bidang ilmu agama, yang keilmuannya di akui oleh seluruh ulama dunia, yang dalam madzhab syafi’i di kenal dengan mujtahid tarjih sekaligus muhaddits. Beliau bernama Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi atau lebih dikenal dengan nama Imam Nawawi ad-Dimasyqi. Dalam kitab majmu’ syarh muhhaddzabnya, beliau berkata:
فصل: اختلفوا في ايات الصفات واخبرها هل يخاض فيها بالتأويل ام لا؟
Faslun: Ulama berbeda pendapat tentang ayat ayat sifat apakah perlu dita’wil atau tidak?
فقال قائلون تتأول على مايليق بها، وهذا اشهر المذهبين للمتكلمين،
Kemudian mereka berkata: Ayat tersebut harus di takwil dengan apa yang layak, Inilah pendapat yang masyhur dikalangan madzhab mutakallimin.
” وقال اخرون : لا تتأول بل يمسك عن الكلام في معناها ويوكل علمها الي الله ويعتقد مع ذالك تنزيه الله تعالي وانتفأ صفات الحادثة عنه.
Sedangkan ulama lainnya berkata: Tidak boleh ditakwil akan tetapi kita kita berpegangan kepada kalam sesuai maknanya kemudian (maksud dari ayat itu) pasrahkan kepada Allah. Disamping itu kita harus beri’tikad ( mempercayai) bahwa Allah bersih dari sifat hadis ( baru). Lantas beliau meneruskan dengan memberikan contoh penafsiran ayat sifat dalam al-Qur’an.
وقال مثلا : نؤمن بأن الرحمن على العرش الستوائ ولا نعلم حقيقة معنى ذالك. والمراد به مع انا نعتقد ان الله تعالي ليس كمثله شيئ وانه منزه عن حلول وسمات الحدوث. وهذه طريقة السلف وجماهير هم وهي اسلم.
Misalnya kita berkata, “Kami percaya bahwasanya Dzat maha penyayang (Allah) bersemayam di atas arsy, akan tetapi saya tidak mengetahui pada hakikat makna dan maksud sebenarnya serta kami meyakini bahwa Allah subhanahu was ta’ala tidak menyerupai sesuatupun dan dia di sucikan dari semua sifat sesuatu yang baru. Hal ini adalah thoriqoh (caranya) ulama’ salaf dan jumhur dari mereka.”
Pendapat ini pula yang lebih selamat. Imam Nawawi lantas memberikan argumentasinya, seraya berkata;
اذ لا يطالب الانسان بالخوض في ذالك ، والمخاطرة فيما لا ضرورة بل لا حاجة اليه، فان دعت الحاجة الئ التأويل لرد مبتدع تؤلوا حينئد.
“Karena seseorang tidak dituntut untuk meceburkan (mendalami) hal itu, dan mengambil resiko dalam sesuatu yang tidak kedaruratan (kebutuhan mendesak) bahkan tidak adanya kebutuhan terhadapnya. Namun, apabila ada kebutuhan terhadap ta’wil ( untuk menjelaskan) karena untuk mengcaunter ahli bid’ah, maka ketika itu juga silahkan di takwil.
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa ayat tersebut di takwil dengan yang layak, disebut dengan Ta’wil Tafsily. Sedangkan pandapat kedua yang menyatakan tidak perlu di ta’wil tetapi harus berpegangan kepada kalam sesuai maknanya kemudian maksud dari ayat itu pasrahkan kepada Allah di sebut dengan tafwid ma’a tanzih (memasrahkan maknanya kepada Allah) seperti menyucikannya (dari sifat yang sama dengan mahluk).
Meski pendapat kedua menyatakan tidak perlu di ta’wil, tapi jangan kira pendapat ini sesuai dengan konsep tidak perlu di takwil versi kelompok mereka. Tidak perlu di takwil versi mereka jelas berbeda dengan diatas. Perbedaannya terletak dalam pada tafwid ma’a tanzihnya. Dalam konsep wahabi tidak demikian, ia dimaknai sesuai dengan makna dhohirnya, Tanpa memasrahkan maknanya kepada Allah SWT. Sebagaimana yang telah saya jelaskan diatas.
Dari pemaparan Imam Nawawi di atas, dapat di simpulkan bahwa jika tidak ada kebutuhan untuk mentakwil ayat sifat itu, maka tidak usah mentakwilnya (takwil tafsili) tapi kalau memang butuh silahkan ditakwil (tafwid ma’a tanzih) sebagaimana yang di jelaskan Imam Nawawi di atas. Tapi sekali, perlu saya tegaskan kembali bahwa “konsep tidak perlu di takwil” versi Imam Nawawi Dan Wahabi tidak sama, bahkan kontradiksi.
Penulis : Ach. Qusyairi, S.E. (Dosen Ma’had Aly Nurul Jadid)
Editor : Alfin Haidar Ali