Tidak puas ketika pencapaian yang didapat tidak mendapat pujian, sanjungan, atau apresiasi dari orang lain. Hal ini merupakan salah satu ciri dari haus validasi yang tengah banyak diidap oleh kebanyakan orang, tak pandang usia. Namun, salah satu dosen kedokteran Untag Surabaya, dr. Adinda Istantina SpKJ, menjabarkan terkait gangguan Narcissistic Personality Disorder (NPD), salah satu cirinya adalah haus validasi yang cenderung terjadi pada usia remaja sampai dewasa (sekitar 13–25 tahun).

Validasi adalah hal yang normal dan manusiawi, di mana secara fitrah memang setiap orang butuh validasi secukupnya untuk merasa diterima atau dihargai.

Berbeda halnya dengan fenomena yang sedang marak terjadi yakni “haus validasi”, di mana setiap orang membutuhkan atau menginginkan adanya validasi dari orang lain di luar batas wajar. Pada masa ini ia akan menempatkan validasi dari luar sebagai satu-satunya sumber nilai diri, sehingga merasa tidak berharga, tidak yakin, atau tidak aman tanpa adanya persetujuan, pujian, atau perhatian dari orang lain.

Validasi dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, validasi internal: yaitu pengakuan, penerimaan, dan penilaian positif yang berasal dari diri sendiri. Kedua, validasi eksternal: yaitu pengakuan atau apresiasi yang datang dari luar diri, baik orang tua, teman, kerabat, pasangan, maupun media sosial. Pembahasan haus validasi yang menjadi fenomena kali ini lebih mengarah pada kategori validasi eksternal.

Validasi internal atau yang datang dari dalam diri, seperti contoh: “aku hebat”, “aku cantik”, “aku baik”, dan lain sebagainya memiliki sisi negatif juga positif untuk diri. Sisi positifnya ketika afirmasi positif dan validasi demikian dapat meningkatkan kepercayaan diri, membuat lebih mandiri, tangguh, mudah bersyukur, dan selalu ingat bahwa tak terkecuali dari satu nikmat yang lepas dari pemberian Tuhan. Sisi negatifnya ketika hal kebalikannya terjadi, alih-alih bersyukur, malah menjerumuskan pada sifat ujub (bangga diri) dan mengundang murka Tuhan. Ia kemudian lupa bahwa segala sesuatu yang melekat pada dirinya tidak lain hanyalah pemberian dan titipan.

Sifat ujub (bangga diri) yakni sifat di mana seseorang membanggakan apa yang ia miliki, baik dari sifat dirinya, harta benda, dan lain sebagainya, tanpa menisbatkannya pada Tuhan (Sang Pemberi Nikmat). Imam Ghazali dalam kitabnya menuliskan:

فإذن العجب هو استعظام النعمة والركون إليها مع نسيان إضافتها إلى المنعم (إحياء علوم الدين (3/ 371)

“Dengan demikian, yang dimaksud dengan ujub adalah menganggap agung sebuah nikmat dan kecondongan pada nikmat tersebut dengan lupa menyandarkan nikmat yang ada pada Sang Pemberi Nikmat (Tuhan).” (Ihya’ Ulumiddin, halaman 371 juz 3)

Dari sinilah kemudian sifat ujub menjadi pemicu akan gejala haus validasi. Dalam keadaan ini ia akan mengharapkan adanya pujian dan sanjungan dari orang lain (validasi eksternal) atas potensi yang ia banggakan. Lama kelamaan sifat seperti ini akan mendorong pada gejala haus validasi yang tengah marak terjadi.

Haus validasi merupakan rumpun dari validasi eksternal, karena gejala ini muncul disebabkan si pengidap mengharapkan pengakuan atau apresiasi datang dari orang lain (luar dirinya). Validasi eksternal juga memiliki sisi positif dan negatif sama seperti validasi internal.

Validasi eksternal bisa berdampak baik jika validasi dari orang lain bukan menjadi satu-satunya sumber nilai diri. Sebaliknya, ia akan sangat berdampak buruk jika kemudian menjadi satu-satunya sumber nilai diri. Seperti contoh merasa tidak dihargai ketika tidak mendapatkan apresiasi, merasa tidak diterima ketika tidak mendapat pengakuan, mudah jatuh saat dikritik, melakukan sesuatu bukan karena kemauan melainkan hanya karena orang lain menyukainya, upload berlebihan demi like dan komentar, dan banyak lagi lainnya.

Masalah muncul ketika seseorang berlebihan pada validasi eksternal, sehingga muncul fenomena haus validasi. Orang yang terjangkit gejala haus validasi cenderung lebih mengedepankan pendapat atau penilaian orang lain dibanding keyakinannya sendiri, lebih cenderung pula melakukan bermacam hal hanya agar disukai dan dipuji. Dalam kacamata Islam hal ini hampir serupa dengan riya’ dan sum’ah.

Dijelaskan dalam kitab Mausu’ah Fiqhi Al-Qulub halaman 3151 juz 4, yang dimaksud dengan riya’ adalah melakukan suatu amal kebaikan dengan niat agar dilihat manusia, sehingga ia mendapat pujian, sanjungan, atau kedudukan di mata mereka.

Riya’ dan sum’ah berbeda tipis. Jika riya’ adalah pamer dan berhubungan dengan indra penglihatan, maka sum’ah berhubungan dengan indra pendengaran, yakni menceritakan amal atau kebaikan yang diperbuat dengan tujuan agar mendapat pujian orang lain.

Dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam Ihya’-nya bahwa dua penyakit hati ini adalah penyakit paling berbahaya dari penyakit hati, yang salah satu pemicunya adalah haus validasi yang sedang kita bahas.

Imam Syafi’i memberikan solusi agar umat terselamat dari sifat ujub dan riya’. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menukil:

وقال الشافعي رحمه الله تعالى إذا أنت خفت على عملك العجب فانظر رضا من تطلب وفي أي ثواب ترغب ومن أي عقاب ترهب وأي عافية تشكر وأي بلاء تذكر فإنك إذا تفكرت في واحد من هذه الخصال صغر في عينك عملك فانظر كيف ذكر حقيقة الرياء وعلاج العجب وهما من كبار آفات القلب( إحياء علوم الدين (1/ 26)

“Imam Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata: jika kamu takut akan terjadi ujub dalam amalmu, maka lihatlah ridha siapa yang engkau cari, pahala apa yang engkau inginkan, siksa apa yang kamu takuti, kesehatan apa yang kamu syukuri, dan musibah apa yang kamu ingat. Sesungguhnya jika kamu memikirkan salah satu dari perkara ini (yang disebutkan), maka akan tampak kecil amalmu dalam pandanganmu.” (Ihya’ Ulumiddin juz 1 halaman 26)

Pada akhirnya, esensi sebuah amal hanya dapat dinilai oleh Tuhan. Begitu pula dengan sifat riya’, sum’ah, dan ujub, tidak ada manusia yang mampu menembus kedalaman niat dan keikhlasan seseorang. Karena itu, bukan validasi yang secara langsung mendatangkan murka Allah, melainkan penyakit hati yang lahir dari pencarian validasi berlebihan, seperti: riya’, ujub, dan sum’ah.

Ketika validasi eksternal menjadi tujuan utama, hati mudah tergelincir pada keinginan untuk dipuji, dilihat, atau diakui. Di sinilah muncul sifat-sifat yang dibenci Allah. Namun, tugas kita sebagai sesama manusia bukanlah menghakimi isi hati orang lain. Tugas kita hanyalah saling mengingatkan, menjaga diri, dan berhusnudzon kepada sesama, karena hanya Allah yang mengetahui niat terdalam setiap hamba.

Amania Riskiyani R. Mahasantri Aktif Ma’had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *