Di tengah derasnya arus zaman yang terus berputar, ada satu pemandangan menarik yang tetap lestari dari bilik pesantren. Seorang santri duduk bersila, menunduk khusyuk, dengan sebuah kitab kuning terbuka di pangkuannya. Pemandangan ini bukan hanya sekadar rutinitas belajar, melainkan simbol dari kesinambungan antara ilmu, adab, dan tradisi yang diwariskan oleh para ulama sejak berabad-abad silam.

Di pesantren, kitab kuning bukan hanya bahan untuk belajar. Lebih dari itu, ia merupakan ruh pendidikan yang mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar informasi, tetapi jalan menuju pemahaman, kebijaksanaan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Santri belajar dengan adab: mencium kitab sebelum membukanya, mendengarkan dengan penuh perhatian, menyimak dengan tenang, dan menulis dengan penuh kehati-hatian.

Tradisi ini membentuk karakter. Santri tidak hanya menjadi orang yang tahu, tetapi orang yang beradab. Mereka belajar sabar dalam memahami, rendah hati dalam menyampaikan, dan tekun dalam mencari kebenaran. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al‑Mujādalah: 11:

“Allah akan meninggikan orang‑orang yang beriman di antara kamu dan orang‑orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Ayat ini menjadi pengingat bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, tetapi jalan kemuliaan yang menuntut kesungguhan dan ketulusan.

ketika informasi datang dalam hitungan detik dan budaya instan merajalela di mana-mana, kitab kuning tetap menjadi penyeimbang. Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati tidak bisa didapat dengan tergesa-gesa. Ia menuntut kesabaran, ketekunan, dan pengorbanan. Santri yang memeluk kitab kuning di pangkuannya sedang melawan lupa. Ia sedang menjaga warisan. Ia sedang menegaskan bahwa di tengah perubahan, ada nilai-nilai yang tak boleh hilang: keikhlasan, ketawadhuan, dan cinta pada ilmu.

Dalam diamnya, kitab kuning berbicara. Ia mengajarkan adab sebelum ilmu, kesabaran sebelum jawaban, dan ketekunan sebelum pemahaman. Di balik setiap hurufnya, tersimpan jejak para ulama besar yang menulis dengan hati, mengajarkan dengan cinta, dan mendidik dengan keteladanan.

Sebagaimana sabda Nabi:

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”
(HR. Abu Dawud & Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa setiap santri yang membuka kitab kuning sedang menyambung mata rantai warisan kenabian, warisan yang tidak berupa harta, tetapi ilmu yang menerangi zaman.

Selama masih ada santri yang duduk bersila, selama masih ada pesantren yang menjaga tradisi, selama masih ada guru yang mengajar dengan cinta, maka kitab kuning akan tetap hidup. Ia tidak akan pernah hilang. Ia akan terus menjadi cahaya di tengah gelap, penuntun di tengah bingung, dan warisan yang menghidupkan peradaban.

Deni Alfarizi, Mahasantri Aktif Ma’had Aly Nurul Jadid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *