Namaku Muhammad, Orang Memangilku Abu Mansur Al-Maturidy. Namaku Muhammad, sebuah nama yang sama persis seperti nama nabiku, Muhammad SAW. Namaku ini juga sama persis dengan nama ayahku. Aku lahir di Maturid sebuah daerah kecil di Kota Samarkand, dulu kota ini masuk dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sebuah dinasti Islam yang amat besar, tak heran jika lingkungan daerahku sangat kental dengan tradisi dan ajaran islam.
Akan tetapi jika sekarang kalian melihat peta dan mencari Dinasti Abbasiyah, kalian tidak akan menemukannya, karena dinasti itu telah runtuh. Sekarang daerah kelahiranku menjadi bagian dari negara Uzbekistan setelah sebelumnya menjadi bagian dari negara Uni Soviet, yang komunis itu. Meski namaku Muhammad, namun di kemudian hari aku lebih di kenal dengan Imam al-Maturidi.
Orang Arab memang mempunyai kebiasaan menisbatkan nama seseorang kepada daerahnya, sayapun demikian, saya sering di panggil dengan nama al-Maturidi karena di nisbatkan kepada tanah kelahiranku, bagiku tidak menjadi persolan, bahkan aku sendiri bangga, karena bisa menjadi brand ambbasador bagi tanah kelahiranku. Aku lahir pada abad ke-3 Hijriyah, di masa pemerintahan Al-Mutawakkil Dinasti Abbasiyah. Beliau memerintah dari tahun 232-274 Hijriyah atau 847-861Masehi.
Aku sangat beruntung memiliki keluarga yang cinta ilmu, hingga sedari kecil aku telah di bimbing tentang ilmu agama. Setelah aku beranjak dewasa, aku nyantri kepada Kiai Abu Nashr Ahmad ibn al-Abbasi ibn al-Husain al-Iyadli serta belajar ilmu fikih Hanafi kepada Kiai Abu Bakar al-Jawazjani dan Nashir ibn Yahya al-Balkhi. Selain itu aku juga nyantri kepada Syaikh Muhammad Ibn Muqotil ar-Razi.
Para kiaiku ini mempunyai sanad keilmuan yang nyambung kepada Imam Abu Hanifah, tentunya sampai kepada Rasulullah. Hal ini, karena kiaiku Abu Nashr al-’Iyadli dan Abu Bakar al-Jawazjani adalah santri kiai Sulaiman Musa Ibn Sulaiman al-Jawazjani yang nobatenenya santri masih santri dari al-Qadli Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim al-Anshari dan Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn al-Hasan asy-Syaibani yang mana keduanya santri al-Imam Abu Hanifah.
Begitu juga dengan kiaiku yang bernama Nashr al-Balkhi dan Muhammad Ibn Muqatil ar-Razi, beliau-beliau masih terhitung santri al-Imam Abi Muthi’ al-Hakam Ibn ‘Abdillah al-Balkhi dan Abu Muqatil Hafsh Ibn Salim as-Samarqandi. Beliau berdua merupakan santri Imam Abu Hanifah. Oleh karenanya, tidak heran jika aku mengikuti Madzhab Hanafi, begitu juga dengan pemikiran keilmuanku banyak di pengaruhinya. Berbeda dengan keempat kiaiku, yang lebih di kenal dengan seorang faqih (orang ahli fikih), aku lebih banyak mengkaji teologi, hal ini aku lakukan mengingat pada waktu itu di negaraku terjadi pergolakan hebat tentang teologi, perdebatan-perbedebatan sengit sering terjadi di forum-forum ilmiah.
Aku prihatin, karena teologi yang berkembang pesat, menurutku sudah jauh dari ajaran Rasulullah, mereka lebih mendahulukan akal ketimbang firman Allah dan hadis Rasulullah, meskipun aku pengikut madzhab Hanafi yang indentik dengan madzhab rasional, tapi aku tidak kebablasan dan tidak se liberal mereka. Bahkan yang bikin aku menepuk jidad mereka berani mengatakan bahwa al-Qur’an-hadis (baru). Mereka itu di kenal dengan sebutan Mu’tazilah. Mu’tazilah berkembang pesat karena menjadi madzhab resmi negara selama 34 tahun dari pemerintahan al-Makmun hingga al-Wasiq,untungya Khalifah pada masaku membatalkannya.
Ada juga golongan yang sering melakukakn bid’ah, mereka sering mengada-ngada dan menambah-nambahi ajaran Nabi Muhammad. Tidak masalah bagiku, jika bid’ah yang mereka lakukan adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik, bid’ah yang tidak bertentang dengan syariat islam. Tapi, bid’ah yang mereka lakukan adalah bid’ah sayyi’ah (bid’ah jelek), bid’ah yang bertentang dengan al-Qur’an dan Hadis. Inilah yang mendorongku untuk melakukan kajian mendalam tentang teologi, guna meng-counter pendapat mereka yang keliru itu dan berusaha meluruskannya ke jalan yang benar sesuai al-Quran dan Hadis.
Oleh karenanya aku banyak menulis kitab tentang bantahan-bantahan (radd) seperti kitab Kitab ar-Radd ‘ala al-Qaramithah, Radd Wa’id al-Fussaq, Radd al-Imama. Selain itu aku menulis beberapa kitab ( buku) yang berkaitan dengan teologi, bantahan (radd), ushul fiqh, Ta’wil, diantranya Kitab at-Tauhid (teologi), Kitab al-Maqalat, Kitab ar-Radd ‘ala al-Qaramithah (counter), Bayan Wahm al-Mu’tazilah, Radd al-Ushul al-khamsah li Abi Muhammad al-Bahili, Radd Tahdzib al-Jidal li al-Ka’bi Radd Wa’id al-Fussaq, Radd al-Imama (counter).
Namun meski demikian aku tidak melupakan ilmu fikih karena bagiku ilmu fikih juga sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, makanya aku menulis kitab (buku) fikih yang berjudul Syarh al-Fiqih al-Akbar. Kitab ini merupakan syarh dari kitab imam besar sekaligus pendiri Madzhab Hanafi, Imam Nu’man al-Hanafi Namaku Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy.
Orang mengenalku sebagai Abu Mansur al-Maturidy. Aku adalah tokoh sentral dalam Aliran Maturidiyah salah satu aliran sekte Ahusunna wal-Jama’ah. Kelak aliranku ini menyebar ke seluruh dunia termasuk Nusantara. Bahkan di jadikan madzhab oleh salah satu Ormas terbesar di sana. Aku meninggal pada tahun 333 H/ 944 M.
Maaf, kitab fiqhul akbar karangan imam abu hanifah itu bukan kitab fiqh, melainkan tauhid